Rabu, 10 Juni 2015

Pemerintahan Abu ja'far Al-mansyur

 
I. PENDAHULUAN
       A. Latar Belakang
            Pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, di    mana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan al-Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Di mana pola pemerintahan yang di terapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
            Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para kholifah benar-benar tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat ilmu pengetahuan dalamIslam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
             Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Mansur, yang keras menghadapi lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu persatu disingkirkannya.
     B.  Rumusan Masalah
           1. Siapakah Abu Ja’far al-Mansur?
           2. Bagaimana sistem pemerintahan pada masa al-Mansur?
           3. Apa saja kebijakan-kebijakan yang dilakukan Abu Ja’far dalam masa pemerintahannya?






II. PEMBAHASAN
       A. Riwayat Abu Ja’far al-Mansur
                Abu Ja’far dilahirkan di kota Humayyah (Hamimah) Yordaniyah 101 H/712 M, merupakan khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ibu beliau bernama Salamah al-Barbariyah, wanita dari suku Barbar. Dan ayahnya bernama Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.[1] Abu Ja’far selalu mendapat anugrah kemenangan dalam setiap peperangan melawan Bani Umayyah dan kerusuhan-kerusuhan kaum pemberontak di dalam negri dan dalam menekan imperium Bizantium. Oleh karena itu ia diberi gelar “al-Mansur” (orang yang mendapat pertolongan Allah).
                Sebutan al-Mansur sendiri adalah gelar takhta yang ditambahkan kepada nama aslinya. Gelar takhta itu ternyata lebih populer dan mudah dikenal daripada nama aslinya, ini menjadi semacam tradisi dalam kholifahan Dinasti Abbasiyah, seperti as-Saffah untuk Abu Abbas, al-Rasyid untuk Harun, al-Imam, al-Makmun, dll.
                Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan memiliki pemikiran cemerlang. Dalam usia 36 tahun, ia telah menjadi kholifah menggantikan kedudukan Abu Abbas as-Saffah yang telah wafat. Di usia yang begitu muda, ia tampil ke depan menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah melanda kekuasaannya. Keberhasilannya dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri Dinasti Abbasiyah, membawa harum Bani Abbas dan memperkuat dasar pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
                Selain itu, al-Mansur juga dikenal sebagai seorang khalifah yang agung, tegas, bijaksana, alim, berpikiran maju, pemerintahannya rapi, disegani, dan seorang pemberani. Keberaniannya ini diperlihatkan dengan kemampuannya mengatasi pemberontak-pemberontak yang terjadi, diantaranya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya, yaitu Abdullah bin Ali.
               Khalifah Abu Ja’far al-Mansur juga dikatakan sebagai bapak pembangunan daulah Bani Abbasiyah, karena beliaulah sebenarnya untuk pertama kali yang membuat dan mengatur politik pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Jalur-jalur administrasi pemerintah mulai dari pusat sampai daerah-daerah ditata dengan baik antara kepala qadhi, kepala jawatan pajak, kepala polisi rahasia, dan kepala jawatan pos. Dengan demikian, maka pemerintahan pada masa kholifah Abu Ja’far al-Mansur menjadi tertib dan lancar, sehingga pemerintahannya menjadi kokoh, maju, dan berhasil membawa umat Islam ke masa kejayaan.
               Abu Ja’far al-Mansur sangat besar jasanya dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam. Beliau adalah seorang yang cinta ilmu pengetahuan. Melalui kekuasaan dan hartanya, dia memberikan dorongan dan kesempatan yang luas bagi para cendekiawan untuk mengembangkan riset ilmu pengetahuan. Buku-buku yang dihasilkan oleh bangsa Romawi yang telah dilupakan, diperintahkan untuk dikumpulkan kembali, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Ilmu falak dan ilmu filsafat mulai digali dan dikembangkan di pemerintahannya.
               Abu Ja’far al-Mansur menjabat sebagai kholifah selama 22 tahun (136-158 H/754-775 M). dan beliau wafat dalam perjalanan ketika hendak menunaikan ibadah haji di Bir Maimun (Makkah) pada usia 63 tahun, jenazah beliau dibawa dan dikebumikan di Baghdad.[2]
       B. Sistem Pemerintahan Pada Masa al-Mansur
                           Sebelum Abu al-Abbas as-Saffah  meninggal, ia sudah mewasiatkan siapa bakal menjadi penggantinya, yakni saudaranya, Abu Ja’far, kemudian Isa ibn Musa, keponakannya. As-Saffah digantikan oleh saudaranya, Abu Ja’far, yang memperoleh gelar Al-Manshur (pemenang). Menurut Hitti, dia ternyata “salah seorang Abbasiyah yang paling berhasil meskipun paling jahat”. Meskipun As-Saffah merupakan penguasa pertama dari bani Abbas, Abu Ja’far harus diangkat sebagai pendiri dinasti itu yang sebenarnya.[3] Sistem pengumuman putra mahkota ini meniru cara Umayyah, bukan mencontoh khulafaurrasyidin yang mendasarkan pemilihan kholifah pada musyawarah dari rakyat.
                           Di zaman al-Mansur berawal masa kejayaan dan masa perkembangan ilmu pengetahuan, yang oleh karenanya Daulah Abbasiyah mencapai zaman keemasannya di belakang hari. Di zaman al-Mansur pula berkembang pengaruh Persia secara jelas, sehingga khalifah-khalifah Bani Abbas meniru umat Persia tentang adat istiadat istana bahkan sampai kepada nizam siasat yang terpakai di masa pemerintahan Kisra-kisra Persia. Ada suatu hal yang baru lagi bagi para khalifah Abbasiyah, ialah pemakaian gelar. Abu Ja’far misalnya memakai gelar al-Mansur. Hal tersebut dapat ditelusuri dari lokasi dimana Abbasiyah berkuasa yang bertumpu pada bekas kekuasaan Persia, sehingga model Persia dijadikan acuan bagi pemerintahannya. Antara lain ialah dengan mengatakan bahwa seorang penguasa adalah wakil Tuhan di bumi, tuhan telah memilih mereka sebagai orang kepercayaan-Nya untuk memerintah. Sedangkan menurut Joesoef Sou’yf disebabkan Abu Ja’far senantiasa menang di dalam peperangan baik memadamkan kerusuhan maupun dalam menghadapi serangan imperum Byzantium, maka ia pun digelari al-Mansur yang berarti memperoleh pertolongan dari Allah.
                          Pada masa al-Mansur pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata “Innama ana Sulthan Allah fi Ardhihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di buminya).” Dengan demikian konsep khalifah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi selanjutnya yang merupakan mandate dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa khulafaurrasyidin. Hal ini merupakan pengaruh Persia yang menetapkan bahwa raja adalah wakil Tuhan, karena itu dia berhak memerintah, dan rakyat hendaklah setia dan patuh kepadanya.[4]
                         Setelah diangkat menjadi khalifah, Abu Ja’far al-Mansur segera membuat beberapa perombakan dalam bidang pemerintahan. Dia mulai menerapkan sistem baru. Dia mengangkat seorang wazir yang bertugas sebagai seorang koordinator antar departemen yang ada. Jabatan wazir ini hamper mirip dengan perdana menteri.
                        Selain itu, Abu Ja’far juga mulai menerapkan tradisi prokoler. Tradisi protokoler ini mirip dengan lembaga sekretariat negara. Lembaga ini bertugas mengatur jadwal pertemuan dengan khalifah. Para tamu yang mau bertemu dengan khalifah harus terlebih dahulu melapor dan menjelaskan keperluannya. Dengan adanya tradisi protokoler ini, para tamu, tidak mudah bertemu dengan khalifah.[5]
                       Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah. Untuk memperkuat kekuasannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu persatu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syiria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Mansur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.[6]
                      Abu muslim sendiri merupakan seorang yang setia kepada kahlifah dan berpengaruh besar. Ketika as-saffah masih hidup, Abu Muslim selalu dimintai pendapatnya dalam urusan negara, sebelum meminta kepada yang lain termasuk al-Mansur. Dikarenakan kekhawatiran akan menjadi pesaing baginya, maka Abu Muslim al-Khurasani dihukum mati pada tahun 755 M. Selanjutnya Abu Ja’far juga menyingkirkan keturunan Ali ibn Abi Thalib yang pengikutnya banyak, terutama di wilayah berdirinya kekuasaan Bani Abbas. Mereka ditakutkan menuntut hak untuk kepemimpinan umat dari golongannya yang selama ini ikut berjuang mendirikan kekuasaan.[7]
                      Selain kedua rival itu, pemimpin kharismatik sekte Syi’ah, Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali, yang terkenal dengan sebutan Imam Nafs al Zakiyah telah bersumpah setia, kepadanya sebagai imam dan akan diangkat sebagai khalifah setelah runtuhnya Bani Umayyah. Rakyat Hijaz dan Yaman mengakuinya sebagai khalifah, mereka termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyatakan “Nafs al-Zakiyah sebagai khalifah yang sah”. Akan tetapi, justru dibunuh oleh Mansur. Demikian pula nasib saudaranya, Ibrahim juga telah dibunuh Mansur, dimana kedua saudara yang dihormati banyak orang baik kalangan Syi’ah maupun bukan Syi’ah.[8]
       C. Kebijakan-Kebijakan Abu Ja’far al-Mansur Dalam Masa Pemerintahannya      
                      Sebagai khalifah Dinasti Abbas yang tergolong awal, Abu Ja’far berfikir dan berjuang keras guna secepat mungkin menciptakan kemajuan-kemajuan di berbagai bidang kebudayaan. Diantara usaha-usaha untuk menciptakan kemajuan Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut:
          1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
                 Abu Ja’far al-Mansur dikenal sebagai khalifah yang mencintai ilmu. Hal ini dapat dilihat dari usaha beliau dalam memajukan ilmu melalui hal-hal sebagai berikut:
a.       Menyalin buku-buku ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani, Sanskerta, Persia, dan Suryani ke dalam bahasa Arab.
b.      Menyusun buku-buku yang beraitan dengan agama Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu hadist yang telah diseleksi, nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
c.       Mendatangkan kaum cendekiawan dari berbagai negara untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti kedokteran, ilmu falak, ilmu astronomi, dan lain-lain.
 Pada masa Abu Ja’far juga telah dilakukan penyusunan dan penyaringan ilmu hadist. Upaya ini dilakukan agar tidak terjadi pemalsuan terhadap perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad saw. (Hadist Nabi).
          2. Pengaturan dan Penertiban Pemerintahan
                     Sebagai usaha untuk memperkokoh kedudukan dan kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah serta memajukan negerinya, Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Menyusun dan menertiban administrasi pemerintahan.
b.      Menjalin kerjasama antarsektor aparat negara, seperti kerjasama antar qadhi dengan kepala polisi rahasia, dengan kepala jawatan perhubungan, kepala jawatan pos, kepala pajak, kepala pendapatan negara, dan sebagainya.
c.       Memberikan tugas dan tanggung jawab kepada semua aparat, baik di pusat maupun di daerah-daerah.

          3. Peningkatan Ekonomi Sosial
                     Untuk usaha peningkatan ekonomi masyarakat dilakukan dengan mendirikan dan membangun kota baru, yang semula yaitu “Madinah as-Salam” (kota perdamaian) menjadi Baghdad (nama Persia) yang berarti pemberian Allah. Kota Baghdad menjadi ibu kota Dinati Abbasiyah yang indah dan megah sehingga menjadi pusat kegiatan ekonomi, perdagangan, sosial budaya, politik, dan menjadi kota internasional.
                      Di samping itu, Abu Ja’far juga membangun kanal-kanal, irigasi untuk mengembangkan pertanian di berbagai wilayah.[9]
          4. Bidang Politik
                    Pada masa khalifah al-Mansur dalam bidang politik, negara cukup stabil dan maju, setelah ia memadamkan api pemberontakan. Di Afrika Utara Berber dan Khawarij yang semula ikut barisan berdirinya Abbasiyah untuk menggulingkan Umayyah karena mereka berpaham demokratis dan menganggap khalifah tidak hanya harus dari golongan tertentu (Quraisyi) akan tetapi boleh saja dari suku  dan bangsa manapun asal memenuhi syarat, akhirnya kecewa terhadap sikap Mansur yang telah menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh yang berjasa guna menumbangkan Dinasti Umayyah untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah. Pada akhirnya, menarik dukungan dan mengganggu kestabilan politik Dinasti Abbasiyah. Mereka juga kecewa dengan sikap Abbasiyah terhadap mereka yang berat sebelah dengan orang Persia. Pemberontakan baik Berber atau Khawarij di bawah panglima merangkap amir, Yazid ibn Hasan al-Muhallab yang berhasil menguasai Qayrawan, sebagai pusat politik Islam di Afrika Utara.[10]
                    Dalam upaya pembinaan politik luar negeri, Khalifah Abu Ja’far mengadakan serangan dan penaklukan kota-kota yang dikuasai oleh raja Bizantium Kaisar Komstantin V. tempat tersebut misalnya benteng Malaka, wilayah Coppadosia, dan juga merebut kembali Sisilia. Penaklukan direncanakan terus ke utara sampai selat Borporus. Akan tetapi, Kaisar Komstantin V meminta gencatan selama tujuh tahu yang disebut dengan perjanjian damai “Seven Years Truce” (758-765 M).[11]
  
III. KESIMPULAN
                Dari penjelasan mengenai kebudayaan Islam di masa al-Mansur dapat disimpulkan bahwa:
a.  Abu Ja’far dilahirkan di kota Humayyah Yordania. Ibu beliau bernama Salamah dan ayahnya bernama Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.
b. Di zaman al-Mansur berawal masa kejayaan dan masa perkembangan ilmu ppengetahuan yang oleh karenanya Daulat Abbasiyah mencapai zaman keemasannya di belakang hari. Di zaman al-Mansur berkembang pula pengaruh Persia secara jelas, sehingga khalifah-khalifah bani Abbas meniru adat istiadat  istana bahkan sampai kepada nizam siasat yang terpakai di masa pemerintahan Kisra-kisra Persia.
c.  Kebijakan-kebijakan al-Mansur dalam masa pemerintahannya.
Diantara usaha-usaha untuk menciptakan kemajuan Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1.         Pengembangan Ilmu Pengetahuan
2.         Pengaturan dan Penertiban Pemerintahan
3.         Peningkatan Ekonomi Sosial
4.         Bidang Politik

IV. PENUTUP
           Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

1 komentar:

  1. sore admin, saya mau nnya ttg ctt kakinya, apakah bisa berikan sumber dari penjelasan makalah ini,admin ?

    #mohoon batuannya

    BalasHapus